Berkah bulan Ramadan tak akan pernah habis jika ada yang mencoba mengukurnya. Bulan yang dinanti oleh umat Islam ini membawa banyak kebaikan; bahkan sekadar berprasangka baik atas kedatangannya saja sudah bernilai pahala dan dapat menjauhkan dari api neraka. Hingga menjelang bulan Syawal, berkah Ramadan semakin melimpah. Hampir semua lini kehidupan dipenuhi keberkahan, yakni di sepuluh malam terakhir. Tuhan semesta alam menurunkan bonus spesial berupa Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Malam itu, dari terbenamnya matahari hingga terbit fajar, para malaikat turun ke bumi untuk mengatur banyak urusan. Seakan-akan mereka mendapatkan tugas khusus—call of duty—untuk mengantarkan berbagai paket kebaikan, baik melalui transfer rekening maupun metode cash on delivery (COD). Maka, tak heran jika menjelang akhir Ramadan, kehidupan di bumi terasa semakin padat. Jalan raya macet, pasar penuh sesak, bengkel motor kebanjiran pelanggan, tukang cukur aka capster aka penata rambut professional tak berhenti bekerja, bahkan area pemakaman pun ramai dikunjungi. Keberkahan bahkan merambah hingga ke pedagang bunga cekaran musiman yang duduk di pinggir jalan.
Semua orang berlomba-lomba menjadi pemenang dalam makna masing-masing. Jika ditilik dari sejarah, hari kemenangan erat kaitannya dengan Perang Badar—pertempuran besar pertama dalam Islam yang terjadi pada 17 Ramadan. Meski jumlah pasukan Muslim jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan Quraisy, kemenangan tetap berpihak pada mereka. Namun, kemenangan sejati bukan hanya soal memenangkan pertempuran fisik, melainkan juga menaklukkan hawa nafsu. Sebab, jihad terbesar adalah mujahadah an-nafs—melawan diri sendiri.

Keramaian menjelang hari kemenangan ini membuat saya tergerak untuk mencatatnya dalam sebuah jurnal tidak ilmiah. Selain berkah yang berlimpah, mungkinkah ada yang tidak kebagian bagian di bulan ini? Tenang saja. Rezeki berupa kesehatan adalah harta yang paling berharga. Itu mungkin sudah kebagian jatah, Alhamdulillah, kita masih diberi nikmat sehat dan kelancaran dalam beribadah di bulan penuh rahmat ini, meskipun saya pribadi merasa berat jika harus mengikuti langkah para wong alim sepenuhnya.
Jadi, siapa pemenang sebenarnya dalam perlombaan tahunan ini? Apakah para penjual pisang, pedagang takjil, atau penjaja uang baru? Nyatanya, siapapun bisa menjadi pemenang—asal benar-benar mampu mengalahkan hawa nafsu setelah menjalani pelatnas Ramadan selama satu bulan penuh. Kembali fitrah, kembali suci.
Para atlit sepuh memberikan satu tips utama: siapa yang mampu ngempet—menahan diri—dialah yang menang. Dalam tradisi Islam Jawa, ada perayaan Megengan yang dilakukan untuk menyambut Ramadan. Kata megengan berasal dari megeng, yang berarti menahan. Filosofi ini sangat selaras dengan esensi Ramadan, yaitu melatih diri untuk menahan hawa nafsu. Bagaimana? Klop bukan? Diawal kompetisi dimulai dengan Megengan dan ternyata yang menjadi pemenang adalah yang kuat megeng atau ngempet.
Jadi, pemenang sejati adalah mereka yang telah menguasai jurus ngempet—menahan diri dari berkata kasar, tidak boros membeli baju baru, serta berbagai bentuk ngempet lainnya yang membawa kebaikan. Tentu, ada satu pengecualian: ngempet untuk tidak ke toilet. Itu beda cerita, kita bahas di lain kesempatan.
Semoga kita semua dapat terus berlomba dalam kebaikan dan memiliki jurus ngempet yang sakti mandraguna. Amin.
Gandusari, Akhir Ramadan 1446 H